Tolak Pengembangan Pembangunan PLTU Batu Bara Celukan Bawang, Masyarakat Ajukan Gugatan Ke PTUN

  • 24 Januari 2018
  • 20:50 WITA
  • News

RedRiceBalinews.com, DENPASAR
Perwakilan masyarakat Celukan Bawang bersama Greenpeace Indonesia yang didampingi oleh Tim Kuasa Hukum dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia-Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI-LBH) Bali mendaftarkan gugatan terhadap keputusan Gubernur Bali, SK No. 660.3/3985/IV-A/DISPMPT tentang izin lingkungan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu Bara Celukan Bawang 2x330 MW, ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar  di Jalan Kapten Cok. Agung Tresna Nomor 4, Denpasar, Rabu ( 24/1/2018).

Gugatan tersebut diajukan oleh tiga orang perwakilan masyarakat terdampak di Celukan Bawang, dan organisasi lingkungan hidup Greenpeace Indonesia.
“Kami mengajukan upaya hukum gugatan ini dengan beberapa alasan yang sangat mendasar, salah satunya karena SK Gubernur Bali diterbitkan tanpa adanya pelibatan masyarakat yang akan terdampak dari proyek ini,” ujar salah satu penggugat, I Ketut Mangku Wijana.

“Selain itu, surat keputusan Gubernur Bali dianggap mencederai komitmen penurunan emisi dalam Kesepakatan Paris karena tidak mempertimbangkan dampak perubahan iklim yang akan terjadi akibat pembangunan PLTU Batu Bara tersebut,” tegas Didit Haryo, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Sementara itu, menurut Dewa Putu Adnyana, S.H dari YLBHI-LBH Bali menyatakan bahwa SK No. 660.3/3985/IV-A/DISPMPT diterbitkan berdasarkan Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang tidak valid dan representatif sehingga cacat hukum dan mengandung kekeliruan, karena tidak adanya keterlibatan masyarakat dalam proses AMDAL sesuai dengan PERMEN Lingkungan Hidup No.17 Tahun 2012 tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Analisa Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan. Beberapa aspek kelengkapan dokumen AMDAL yang tidak mampu dipenuhi serta kegagalan AMDAL dalam melakukan evaluasi holistik terhadap dampak yang akan ditimbulkan. Tentu saja hal ini bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) karena tidak menerapkan kaedah keterbukaan, kecermatan serta kepastian hukum. Kemudian, SK Gubernur Bali tersebut tidak didasarkan pada Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil (RZWP3K).
Fakta lainnya yang memperkuat masyarakat melakukan gugatan adalah pengembangan pembangunan PLTU Batu Bara Celukan Bawang 2x330 MW ternyata tidak masuk ke dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Nasional maupun Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah.
Dalam RUPTL Nasional 2017-2026 secara jelas telah dinyatakan bahwa Provinsi Bali sebagai destinasi wisata dunia juga memiliki sumber daya Energi Baru Terbarukan (EBT) yang melimpah. Kondisi ini didukung oleh masyarakat Bali yang terbuka dan mudah untuk menerima EBT serta memulai implementasi smart grid secara bertahap. Berdasarkan data dari RUPTL Nasional 2017-2026, beban puncak sistem kelistrikan Provinsi Bali tertinggi adalah pada tahun 2016 sebesar 860 MW yaitu pada bulan Oktober 2016; sementara daya dipasok dari pasokan kabel bawah laut Jawa-Bali 400 MW dan pembangkit 150kV sebesar 998 MW. Dari data tersebut sudah jelas bahwa jaringan listrik Jawa-Bali sudah mengalami kelebihan kapasitas dan tidak membutuhkan adanya tambahan penyediaan tenaga listrik dari pembangkit baru. RRBNC
 


TAGS :

Komentar