'Lebih Baik Mati daripada Harus Hidup Berlutut', 112 Tahun Perang Puputan Badung

  • 19 September 2018
  • 19:17 WITA
  • News
Tokoh Puri Gerenceng, Genersi ke-13 dari Dinasti Pemecutan Gerenceng, AA. Ngurah Agung (Foto: istimewa)
 
Balitopnews.com, Denpasar - Hari ini, tepat 112 tahun setelah terjadinya perang Puputan Badung. Perang yang terjadi pada 20 September 1906 silam tersebut merupakan salah satu moment yang paling heroik dalam sejarah masyarakat Bali.
 
Perang Puputan Badung tidak hanya sekedar perang mempertahankan teritori kekuasaan, tapi lebih dari itu, perang ini adalah simbol betapa masyarakat Bali memiliki jiwa yang tidak sudi tunduk dengan penjajah kolonial Belanda.
 
"Lebih baik mati daripada harus hidup berlutut." Mungkin demikian pepatah yang tepat untuk mengungkapkannya.
 
Mengenang moment bersejarah tersebut, AA. Ngurah Agung, sebagai tokoh Puri Gerenceng mengajak kita untuk menyelami kembali makna dari perjuangan yang telah dilakukan oleh para pendahulu kita di Bali, khusunya oleh Raja Pemecutan bersama rakyat Bali pada waktu itu.
 
Ia mengatakan semangat perjuangan "Puputan" yang dimiliki oleh para pejuang Perang Puputan Badung perlu kita teladani dalam membangun Bali dan menjaga keutuhan NKRI ini.
 
“Apa yang dilakukan oleh para pendahulu kita menjadi teladan yang harus dijaga dan diajarkan sampai ke anak cucu kita,” jelas AA Ngurah Agung, Rabu, 19 September 2018.
 
"Kalau dulu berjuang melawan penjajah, namun hari ini kita berjuang dengan ilmu pengetahuan untuk menjaga dan memajukan NKRI," imbuhnya.
 
Lebih lanjut, AA. Ngurah Agung menjelaskan sejarah itu tak lepas dari tiga kerajaan besar yang ada di Denpasar yakni, Puri Agung Kesiman, Puri Agung Denpasar dan Puri Agung Pemecutan. 
 
Kerajaan pada waktu itu melakukan perlawanan dengan gagah berani hanya bersenjatakan tombak, keris maupun senapan seadanya. Sedangkan Belanda menggunakan persenjataan lengkap.
 
Belanda dengan segala taktik liciknya berusaha memanfaatkan situasi yang terjadi pada saat itu untuk menekan I Gusti Ngurah Made Agung yang bertahta sebagai Raja Badung.
 
Tekanan pemerintah Hindia Belanda tak membuat Raja menyerah, sampai akhirnya pecah pertempuran besar yang membuat ketiga kerajaan itu berhasil dikuasai Belanda. 
 
"Peristiwa 112 tahun silam itu, sebagai bentuk sikap ksatria para keluarga Puri dalam mempertahankan harga diri dan martabat," ungkapnya.
 
Menurut AA. Ngurah Agung, meski mengalami kekalahan, namun ada pelajaran penting yang bisa kita ambil sebagai generasi penerus yakni, sebuah keberanian dan keteguhan hati dalam menghadapi permasalah yang terjadi.
 
ppppppp
 
  

AA. Putu Oka Manek, kakek dari AA. Ngurah agung (Foto: istimewa)

Dikutip dari Silsilah Anglurah Pemayun dan Lanang Tanjung di Puri Gerenceng, AA. Ngurah Agung merupakan generasi ke-13 Tokoh Puri Gerenceng, Kakek buyutnya (Kompyang), AA. Made Gede merupakan generasi ke-9 dari Puri Gerenceng Pemecutan.

 
Menurut Lontar Babad Badung Druwen, keturunan berikutnya, Anak Agung Putu Oka Manek, lahir tahun 1901. Pada tahun 1946 mulai menulis Babad Badung atau di usia 45 tahun. Kemudian tahun 1948 mengarang kidung lahirnya Ken Angkrok atas permintaan Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan X.
 
Selain sebagai tokoh Puri Gerenceng, AA. Ngurah Agung juga dikenal sebagai pendiri dari Persaudaraan Hindu Muslim Bali (PHMB). Ia aktif menyuarakan pentingnya toleransi dan hidup rukun antar umat beragama guna memajukan dan menjaga NKRI khususnya di Bali. (Adhi/*)

TAGS :

Komentar